Akhirnya, Kita Itu Pernah Jumawa

images (1)

Kita tak pernah mampu memastikan, di mana kita tua dan beruban nanti. Tak pernah tahu, ke mana perginya kedua telapak kaki kisut kita saat itu, meski hanya memastikan warna selop yang akan dipakai untuk ke kamar mandi. Mereka semua pun tidak tahu sesungguhnya, ke mana perginya masa tua itu. Beberapa sungguh percaya pada mimpi panjangnya dan rencana terbaiknya, yang ditulis pada buku-buku agenda atau agen-agen asuransi yang receh berkata-kata tentang kebebasan dari kesusahan.

Di ranjang, pikiran kita sering berbicara berlari terlalu jauh, menidurkan lelap pertanyaan-pertanyaan tempat kita hidup. Di mana, aku harus menyembuhkan kecemasan ini. Berikan aku petunjuknya, meski sebuah dekapan. Aku tidak yakin tentang hal ini.

Di bawah guyuran hujan lebat, tubuhku sering menahan kedinginan. Merasa lemah seperti sudah tua sebelum waktunya. Tuhan, aku takut kegigilan itu. Rasa hangat begitu tumpas.

Berikan aku musim panas sepanjang tahun, kalau pun hujan, rintiklah. Tak perlu terdengar gema deras suaranya di kebun-kebun kosong, luap pada selokan-selokan yang lupa di bersihkan dari mampat sampah plastik.

Aku hanya ingin merasakan kehidupan yang nyata, merasakan rumah yang kutinggali nanti. Aku tak perlu punya banyak kehidupan, aku hanya ingin sederhana. Merasakan dan kontak dengan tanah di sekitar kakiku.

Tutuplah matamu, jangan kau sampai melihat tangisku. Kita semua memang sedang berusaha. Kini aku duduk dan menanti, apakah malaikat itu benar-benar menentukan semua takdirku. (3/10/2017)

In Memoriam -GregRinto-

Sebuah sajak, kucoba tulis setelah melayatimu.Bukan puisi, yang kata banyak orang terlalu biasa. Kamu pasti setuju jika saja sedang membacanya.

Kukira kita akan bertemu lagi seperti biasa, entah itu pas ketemu di jalan atau di mana saja

Kusangka, aku akan melihatmu lagi, apapun itu waktunya. Aku yakin 100% tentang ini

Namun, setelah melangkah jauh dari pusaramu, kini aku baru sadar. Saat ini, hanya bisa mengingatmu. Mengenangmu tentang waktu-waktu kita pernah bersua. Kenangan-kenangan itu pun tak sia-sia. Kau pasti juga setuju.

Dulu, setiap kuliah, kau rutin SMS ingin dijemput. Alasanmu, motor Smashmu dipakai adikmu. Saat itu, aku hanya paham mengerti tentang seorang kakak yang perhatian dengan adiknya. Tak pernah kutolakkan tawaranmu ketika itu. Pasti motorku sampai di depan rumahmu.

Tak hanya berangkat kuliah sama-sama, ketika itu pun, kau kenalkan aku dengan pacarmu, yang sudah kau kenal dengan cukup lama. Aku tahu dia baik untukmu. Bukan karena penampilannya, aku hanya merasa yakin. Tak tahu itu munculnya dari mana. Aku pun tahu seberapa perhatianmu dengan dia. Setahuku, kau hanya ingin membuatnya bahagia. Ya, hanya untuk dia meski maut saat itu memisahkan kalian.

Meski sudah dengan pacarmu, kau sendiri dulu tampak dekat dengan teman kampus. Aku akui dulu tak pernah setuju tentang ini meski kabarnya hanya rumor. Ketika aku di depanmu melihat kalian berdua, kamu pun salah tingkah, mengalihkan dengan banyak pembicaraan yang tiba-tiba. Kau pun tahu ada yang salah. Tapi ya biarlah, aku tak ambil pusing. Itu urusanmu! Momen ini pun tak sia-siakan karena tetap menjadi kenangan darimu.

Hari Minggu, tahun 2017, aku pun hadir di syukuran pernikahanmu. Kau sudah memilih perempuan pilihanmu setelah sekian lama lulus kuliah. Perempuan itu resmi menjadi istrimu kini. Aku ucapkan selamat bahagia untukmu. Harimu pasti indah saat itu.

Kini, kau sudah diam dan hanya mungkin berbicara ketika aku memutar ingatan saat bersamamu. Pergilah kini dengan senyum. Tak usah kau pikir-pikir lagi tentang ini dan itu. Berjalanlah dengan tapak yang pasti. Pergilah menuju cahaya dengan damai.

30 Januari 2017

 

 

Si Minoritas dan Tuhan

Teriakku, ku ingin seperti tanah! Kau injak, kau kencingi, kau ludahi, aku diam! Tak pernah marah.

Mimpiku, kuingin seperti batu kecil! Yang kau tendang keras, lalu diam kencang melayang, pecah terbentur tembok. Akhirnya, masuk tenggelam di selokan busuk. Aku akan terima nasib sebagai batu kecil!

Sumpahku, ingin ku menjadi udara! Yang tak pernah melawan dan tak ingin kelihatan. Kutuklah aku jadi udara. Aku akan terima bahagia!

Aku ingin lari seperti anjing kudisan!! Yang kau lempari batu besar, lalu takut melesat kencang menjauh tak tahu arah. Aku akan terima sebagai anjing kudisan.

Mulai saat ini, aku tak akan marah lagi, apapun itu yang terjadi karena semua yang terjadi memang karena ijinMu…

Sekali lagi, jatuhkanlah aku di cobaanmu yang paling terdalam. Aku akan terima.

 

 

Sore Tanpa Arti, Angin Lalu

Sekeliling terlihat diam. Terdengar Lengang, waktu lambat.

Tak ada motor melintas di jalan depan. Orang lewat pun nihil. Kosong pergerakan apalagi lari anjing dan kucing.

Biasanya, aku suka saat sore. Banyak badan bau wangi sabun sehabis mandi. Baju-baju tercium harum, licin sehabis disetrika. Wajah-wajah bersih bermunculan. Jiwa-jiwa terasa segar, pulih dari penatnya kerja sehari-hari.

Sesekali, kuingat anak perempuan kecil. Jelang hari petang, ia suka menari-nari di tengah jalan yang sepi dengan sandal jepit mungilnya yang sehabis disikat Ibunya. Setelah lelah menari, kedua mata kecilnya seolah begitu rindu, hanya tertarik pada lampu penerang jalan yang mulai perlahan hidup.

Mungkin, dunia yang begitu penting baginya, hanya lampu yang selalu menyala menyambut malam. Tak pernah ingkar untuk tak hidup.

Seperti aku, yang hanya tertarik pada  sore, petang, dan angin lalu.

Dua Sepatu

Dua pasang sepatuku kini agak usang. Sedikit sobek di sisi depan setelah menjadikanku sarjana, sesudah kuajak berjalan saat menemui pacarku.
Kasihan sepatuku ini, pernah kupaksa hujan-hujanan di selokan yang meluap.
Suatu ketika, tak sengaja, juga kuinjakkan pada tai kucing yang tertutupi pasir.
Apakah akan segera menggantinya, aku tak tahu.
Ah, dua sepatuku ini begitu terasa nyaman, begitu hangat saat sore.
Namun sayang, begitu bau saat kutaruh di longkang tempat dtidurku.

Kebenaran Abadi

Tidak ada yang tidak ditepati kali ini, dingin pada angin, mekar kembang pada taman.
Inilah kebanyakkan dari pagi hari, tak bisa ditawar.
Tak ada yang sia-sia saat ini.
Batu itu menghidupkan lumut, memberikan punggungnya dengan gratis.
Pepohonan, bahkan memberikan bagian dirinya pada luruh daun, kelupas kulit pada batang.
Di balik rumpun ilalang itu, tersimpan bunga liar yang cantik, kuning kelopak.
Beberapa awan telah menyingkir, menghindari siang.

Seisi Kota Berkonflik

Di kotaku, orang terus berkonflik,
Seluruhnya pernah jengkel dengan jalanan yang pagi, siang, sore macet.
Beberapa, marah dengan suhu udara panas yang memusingkan ubun-ubun, hingga memaki-maki keadaan tak karuan.
Sekelompok bertangan usil, mencoreti tembok-tembok toko saat malam.
Lucu lagi, seorang gila yang berdiri di pinggir jalan, mulutnya mencaci dan sesekali melempari batu pemakai jalan.
Di kotaku, penghuninya terus berkonflik.
Dan, aku juga terus berkonflik dengan hari esok.

Pecahan Impian

Pecahan-pecahan impian, beberapa kali muncul ketika menjelang pagi.
Beberapa kejadian, membuat orang lupa dengan teh hangatnya, melalaikan gosok giginya.
Pecahan-pecahan itu, terkadang juga hadir saat akan tertidur,
seringkali membuat kaki tak ingin diselimut, lolos dari ritual cuci kaki.
Barangkali, impian itu seperti sungai, yang dikutuk gemericik, didoakan agar tak banjir, lalu diharapkan para pemancing agar melimpah ikannya.
Di rumah kardus, tepi jalan raya, pecahan impian itu terkadang diteriakkan oleh anak umur 5 tahun yang bercita-cita jadi dokter ketika orang tuanya baru saja pulang dari memulung.

Perjalanan…

Butir-butir hujan pada kaca bis,
mengingatkanku pada dingin air kali saat pagi, gigil udara saat malam.
Berbagai ingatan telah terlampaui, bulan lalu yang gagal mendapatkan pekerjaan baru, tempo hari yang dilalui dengan rasa yang sama saja.
Baris-baris hujan, menempel pada kaca bis.
mataku mencoba menghitung,
meski angkanya tak pernah pasti,entah kenapa, aku menikmatinya.
Dan pecahan-pecahan hujan, terus tertinggal di kaca bis.

Hujan pada Pagi…

Air rembesan langit memulai hari,
mengguyur jalanan, membasahi kamis, menggenangi rutinitas.
Basah sepanjang celana, dikepung gigil pada telapak kaki.
Tak ada yang kering, hanya beku para calon penumpang di halte yang konsisten.
Tanganku, terus bertahan mengemudi.